Universitas Gunadarma

Rabu, 20 April 2016

KASUS PERLINDUNGAN KONSUMEN

Kasus Kepailitan Perusahaan Penerbangan Mandala Airlines dan Batavia Airlines
Kasus kepailitan Batavia Airlines bermula dengan Internasional Leasing Finance Corporation mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terhadap PT. Metro Batavia dengan nomor perkara No.77/pailit/2012/PN.NIAGA.JKT.PST.
Pada hari Rabu, 30 Januari 2013, Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan PT. Metro Batavia pailit 10 dengan segala akibat hukumnya. Dalam putusan pailit tersebut konsumen ditempatkan sebagai kreditor konkuren yaitu kreditor yang tidak mempunyai hak pengambilan pelunasan terlebih dahulu daripada kreditur lain dan harus dibagi secara merata dengan kreditor lainnya.
Terlebih lagi setelah putusan pailit, konsumen dibingungkan dengan mekanisme pengembalian tiket karena Batavia tidak memberikan informasi yang jelas tentang prosedur pengembalian tiket.
Seharusnya konsumen yang mengalami keterlambatan penerbangan (flight delayed) dan pembatalan penerbangan (cancelation of flight) akibat perusahaan penerbangan yang mengalami perkara kepailitan sehingga berhenti memberikan pelayanan, akan mendapatkan ganti rugi sebesar Rp. 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per penumpang, atau menawarkan tempat tujuan lain yang terdekat dengan tujuan penerbangan akhir penumpang ditambah dengan ganti rugi Rp. 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) perpenumpang, atau dengan penggalihan jadwal penerbangan kepada penerbangan berikutnya atau penerbangan milik Badan Usaha Niaga Berjadwal lain dengan pembebasan biaya tambahan, termasuk peningkatan kelas pelayanan (up grading class) atau apabila terjadi penurunan kelas atau sub kelas pelayanan, maka terhadap penumpang wajib diberikan sisa uang kelebihan dari tiket yang dibeli.
Akan tetapi dalan UU Kepailitan, Hak-hak penumpang yang menjadi prioritas apabila terjadi kerugian tersebut berubah menjadi hak yang paling terakhir, karena ketika terjadi pembagian budel pailit dalam Undang-undang Kepailitan dikenal asas keseimbangan dan keadilan. Hanya kreditor yang memiliki jaminan, ataupun kreditor yang oleh Undang-undang diangkat derajatnya menjadi kreditor yang diistimewakan lebih didahulukan daripada kreditor yang tidak memiliki jaminan. Undang-undang kepailitan juga tidak memperhatikan sebagaimana halnya Penumpang atau pemilik tiket yang pada dasarnya menjadi korban atas dampak kepailitan tersebut.

Pada kasus PKPU PT. Mandala Airlines, Permohonan PKPU tersebut dikabulkan oleh majelis hakim karena PT. Mandala Airlines saat ini sedang dalam tahap negosiasi dengan beberapa calon investor yang akan menyuntikkan modalnya ke dalam perseroan untuk menambah modal kerja perseroan guna dapat melanjutkan kegiatan usaha Pemohon PKPU.
Bahwa berdasarkan putusan PKPU tersebut, yaitu pada isi perdamaiannya disebutkan bahwa seluruh utang kepada kreditor dikonversi menjadi Saham Baru Perseroan (Saham Seri C). Dengan persetujuan 70.54% kreditor atau para pihak yang mempunyai piutang dengan manajemen Mandala lama, bahwa kewajiban pemegang saham lama Mandala ke kreditor termasuk konsumen sebesar 15% dikonversikan ke saham kepemilikan baru Mandala Airlines.
Manajemen Mandala dilarang mengeluarkan pembayaran sepeserpun kepada kreditor, termasuk konsumen yang telah membeli tiket tetapi belum sempat terbang. Untuk mengurangi kekecewaan konsumen kepada perusahaan tersebut, manajemen Mandala Airlines yang baru telah memberikan goodwill atau bonus berupa voucher senilai dengan harga tiket yang dipunyai konsumen dan bisa digunakan sebagai tiket penerbangan dengan Mandala yang baru. Akan tetapi pemberian Voucher tersebut diberikan dalam rentang waktu yang lama dari jadwal penerbangan yang seharusnya digunakan oleh konsumen.
Padahal yang diinginkan oleh konsumen adalah terbang sesuai jadwal dan mendapat ganti kerugian apabila terjadi keterlambatan bukan menjadi pemegang saham seperti yang diatur dalam putusan tersebut.15 Seharusnya konsumen tidak dimasukkan sebagai kreditur konkuren apalagi sebagai pemegang saham seperti pada putusan diatas.
Karena konsumen memiliki perbedaan karakteristik dan kepentingan yang berbeda dibandingkan kreditur lainnya apabila perusahaan penerbangan dalam perkara kepailitan. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu adanya alternatif perumusan tentang perlindungan hukum dalam perkara kepailitan perusahaan penerbangan agar dapat lebih menjamin perlindungan hukum bagi konsumen.
Perubahan tersebut dilakukan karena peraturan-peraturan sebelumnya dirasa belum memberikan perlindungan terhadap konsumen pada saat perusahaan penerbangan mengalami 15Agus Pambagio, 2012, Nasib Pemegang Tiket Mandala Airlines Yang Pailit (online) diakses di http:// www.protespublik.com (12 Februari 2014) 12 perkara kepailitan. Perubahan tersebut meliputi Menyisipkan atau menambahkan materi baru, menghapus sebagian materi yang dianggap sudah tidak sesuai lagi, mengganti atau mengubah sebagian materi dengan materi lain. Perubahan tersebut adalah :
1. Perlu adanya penambahan materi baru terkait hak-hak konsumen pada saat perusahaan mengalami kepailitan pada Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen.
2. Menambah materi baru pada Bab VI Tentang Tanggung jawab Pelaku Usaha Undang-undang Perlindungan Konsumen Yaitu perlu adanya penambahan ketentuan yang mengatur konsumen sebagai kreditur preferan yang diistimewakan seperti buruh yang diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan.
3. Menyisipkan materi baru pada Pasal 146 Undang-undang Penerbangan yaitu Perlu ada penambahan tanggungjawab pengangkut pada saat terjadi keterlambatan/pembatalan penerbangan yang disebabkan karena perusahaan mengalami perkara kepailitan.
4. Menambah pada penjelasan pasal 24 Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Utang Hal ini diberlakukan khususnya bagi perusahaan publik yang melibatkan konsumen dalam menjalankan usahanya. Dimana pelaku usaha/debitor pailit masih diberi kewenangan untuk menyelesaikan kewajiban kepada konsumennya. Dengan tetap memberikan pelayanan seperti pelayanan informasi bagi konsumen. Karena Dengan hilangnya kewenangan perusahaan untuk mengurus hartanya yang dihitung berdasarkan jam tersebut akan merugikan konsumen. Mengingat proses pengubahan Undang-undang yang relatif membutuhkan waktu yang lama, maka untuk sementara waktu hakim dalam mengambil keputusan terkait kasus-kasus yang menimpa konsumen pada saat terjadi perkara kepailitan maka hakim dapat menerapkan asas-asas hukum yakni asas lex superior derogat legi inferior. Yaitu peraturan perundang-undang yang tingkatnya lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang tingkatnya lebih rendah. Ketentuan tertinggi adalah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia dan apabila 16Febrian, Buku Panduan Tentang Proses Legislasi, Sekretariat Jendral DPR RI, Jakarta, 2009, Hal. 27 13 ada aturan dibawahnya yang bertentangan maka aturan yang dibawahnya harus dikesampingkan. Dalam hal ini maka aturan dalam Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) karena dirasa tidak memberikan perlindungan lagi terhadap konsumen dan sudah tidak sesuai lagi dengan UUD NRI 1945, maka yang dipakai adalah UUD NRI 1945. Khususnya dalam pasal 28D yang berbunyi :“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

Analisnya
: a. Peraturan perundang-undang di Indonesia masih belum memberikan perlindungan hukum yang maksimal terhadap konsumen pada saat terjadi perkara kepailitan perusahaan penerbangan. Hal ini terlihat dari bahwa tidak ketentuan yang yang mengatur tentang hak-hak dan kedudukan konsumen pada saat terjadi kepailitan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Sehingga yang berlaku adalah Undang-undang yang bersifat lebih khusus yang mengatur Kepailitan yaitu Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Hal ini tercermin dari kasus yang menimpa konsumen Batavia Airlines dan Mandala Airlines yang mengalami perkara kepailitan. Dimana konsumen dalam kasus pailit Batavia Airlines dijadikan sebagai Kreditur Konkuren dimana kreditur yang paling akhir mendapat pembayaran piutangnya. Hal ini diperparah apabila keadaan insolvensi dari suatu perkara kepailitan tersebut sangat parah yang mengakibatkan konsumen tidak memperoleh haknya sama sekali. Sedangkan konsumen pada kasus PKPU Mandala Airlines dijadikan sebagai pemegang saham manajemen baru perusahaan penerbangan tersebut.
b. Perlu adanya alternatif perumusan peraturan kepailitan perusahaan penerbangan agar dapat lebih menjamin perlindungan konsumennya. Perubahan tersebut meliputi penambahan hak-hak konsumen dan kewajiban perusahaan pada pasal 14 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Bab VI Tentang Tanggungjawab Pelaku usaha, Pasal 146 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, Pasal 24 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Utang. Perusahaan perusahaan harus tetap melayani konsumennya pada saat perusahaan penerbangan mengalami perkara kepailitan.

SUMBER : http://download.portalgaruda.org/article.php?article=188276&val=6466&title=ANALISIS%20YURIDIS%20TERHADAP%20PERATURAN%20PERLINDUNGAN%20HUKUM%20BAGI%20KONSUMEN%20DALAM%20PERKARA%20KEPAILITAN%20PERUSAHAAN%20PENERBANGAN
Kelompok :
RIFKY ADITYA RACHMAN 29214363
RISKI LISMAWATI 29214504
RIVALDI REVIN 29214547

Tidak ada komentar:

Posting Komentar