1. KASUS
LIPPO
Kasus Lippo bermula dari adanya tiga versi laporan keuangan yang
ditemukan oleh Bapepam untuk periode 30 September 2002, yang masing-masing
berbeda. Laporan yang berbeda itu, pertama, yang diberikan kepada publik atau
diiklankan melalui media massa pada 28 November 2002. Kedua, laporan ke BEJ
pada 27 Desember 2002, dan ketiga, laporan yang disampaikan akuntan publik,
dalam hal ini kantor akuntan publik Prasetio, Sarwoko dan Sandjaja dengan
auditor Ruchjat Kosasih dan disampaikan kepada manajemen Bank Lippo pada 6
Januari 2003. Dari ketiga versi laporan keuangan tersebut yang benar-benar
telah diaudit dan mencantumkan ”opini wajar tanpa pengecualian” adalah laporan
yang disampaikan pada 6 Januari 2003. Dimana dalam laporan itu disampaikan
adanya penurunan AYDA (agunan yang diambil alih) sebesar Rp 1,42 triliun, total
aktiva Rp 22,8 triliun, rugi bersih sebesar Rp 1,273 triliun dan CAR sebesar
4,23 %. Untuk laporan keuangan yang diiklankan pada 28 November 2002 ternyata
terdapat kelalaian manajemen dengan mencantumkan kata audit. Padahal laporan
tersebut belum diaudit, dimana angka yang tercatat pada saat diiklankan adalah
AYDA sebesar Rp 2,933 triliun, aktiva sebesar Rp 24,185 triliun, laba bersih
tercatat Rp 98,77 miliar, dan CAR 24,77 %. Karena itu BAPEPAM menjatuhkan
sanksi denda kepada jajaran direksi PT Bank Lippo Tbk. sebesar Rp 2,5 miliar,
karena pencantuman kata ”diaudit” dan ”opini wajar tanpa pengecualian” di
laporan keuangan 30 September 2002 yang dipublikasikan pada 28 Nopember 2002,
dan juga menjatuhkan sanksi denda sebesar Rp 3,5 juta kepada Ruchjat Kosasih
selaku partner kantor akuntan publik (KAP) Prasetio, Sarwoko & Sandjaja
karena keterlambatan penyampaian informasi penting mengenai penurunan AYDA Bank
Lippo selama 35 hari.
Analisis: dari kedua kasus diatas dalam profesi akuntan terdapat
masalah yang cukup pelik di mana di satu sisi para akuntan harus menunjukkan
independensinya sebagai auditor dengan menyampaikan hasil audit ke masyarakat
secara obyektif, tetapi di sisi lain mereka dipekerjakan dan dibayar oleh
perusahaan yang tentunya memiliki kepentingan tersendiri.
2. Kasus Mulyana W. Kusuma
Kasus ini terjadi sekitar tahun 2004. Mulyana W Kusuma sebagai
seorang anggota KPU diduga menyuap anggota BPK yang saat itu akan melakukan
audit keuangan berkaitan dengan pengadaan logistic pemilu. Logistic untuk
pemilu yang dimaksud yaitu kotak suara, surat suara, amplop suara, tinta, dan
teknologi informasi. Setelah dilakukan pemeriksaan, badan dan BPK meminta
dilakukan penyempurnaan laporan. Setelah dilakukan penyempurnaan laporan, BPK
sepakat bahwa laporan tersebut lebih baik daripada sebeumnya, kecuali untuk
teknologi informasi. Untuk itu, maka disepakati bahwa laporan akan diperiksa
kembali satu bulan setelahnya. Setelah lewat satu bulan, ternyata laporan
tersebut belum selesai dan disepakati pemberian waktu tambahan. Di saat inilah
terdengar kabar penangkapan Mulyana W Kusuma. Mulyana ditangkap karena dituduh
hendak melakukan penyuapan kepada anggota tim auditor BPK, yakni Salman
Khairiansyah. Dalam penangkapan tersebut, tim intelijen KPK bekerjasama dengan
auditor BPK. Menurut versi Khairiansyah ia bekerja sama dengan KPK memerangkap
upaya penyuapan oleh saudara Mulyana dengan menggunakan alat perekam gambar
pada dua kali pertemuan mereka.
Analisa : Dalam kasus ini terdapat pelanggaran kode etik dimana
auditor telah melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang
auditor dalam mengungkapkan kecurangan. Auditor telah melanggar prinsip keempat
etika profesi yaitu objektivitas, karena telah memihak salah satu pihak dengan
dugaan adanya kecurangan. Auditor juga melanggar prinsip kelima etika profesi
akuntansi yaitu kompetensi dan kehati-hatian professional, disini auditor
dianggap tidak mampu mempertahankan pengetahuan dan keterampilan
professionalnya sampai dia harus melakukan penjebakan untuk membuktikan
kecurangan yang terjadi.
3. Kasus KAP Andersen dan Enron
Kasus KAP Andersen dan Enron terungkap saat Enron mendaftarkan
kebangkrutannya ke pengadilan pada tanggal 2 Desember 2001. Saat itu terungkap,
terdapat hutang perusahaan yang tidak dilaporkan, yang menyebabkan nilai
investasi dan laba yang ditahan berkurang dalam jumlah yang sama. Sebelum
kebangkrutan Enron terungkap, KAP Andersen mempertahankan Enron sebagai klien
perusahaan, dengan memanipulasi laporan keuangan dan penghancuran dokumen atas
kebangkrutan Enron, dimana sebelumnya Enron menyatakan bahwa pada periode
pelaporan keuangan yang bersangkutan tersebut, perusahaan mendapatkan laba
bersih sebesar $ 393, padahal pada periode tersebut perusahaan mengalami
kerugian sebesar $ 644 juta yang disebabkan oleh transaksi yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh Enron.
Analisa : Pelanggaran etika dan prinsip profesi akuntansi telah
dilanggar dalam kasus ini, yaitu pada prinsip pertama berupa pelanggaran
tanggung jawab profesi untuk memelihara kepercayaan masyarakat pada jasa
professional seorang akuntan. Prinsip kedua yaitu kepentingan publik juga telah
dilanggar dalam kasus ini. Seorang akuntan seharusnya tidak hanya mementingkan
kepentingan klien saja, tapi juga kepentingan publik.
4. Kasus Sembilan KAP yang diduga melakukan kolusi dengan
kliennya
Jakarta, 19 April 2001 .Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta
pihak kepolisian mengusut sembilan Kantor Akuntan Publik, yang berdasarkan
laporan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diduga telah melakukan
kolusi dengan pihak bank yang pernah diauditnya antara tahun
1995-1997.Koordinator ICW Teten Masduki kepada wartawan di Jakarta, Kamis,
mengungkapkan, berdasarkan temuan BPKP, sembilan dari sepuluh KAP yang
melakukan audit terhadap sekitar 36 bank bermasalah ternyata tidak melakukan
pemeriksaan sesuai dengan standar audit.
Hasil audit tersebut ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya
sehingga akibatnya mayoritas bank-bank yang diaudit tersebut termasuk di antara
bank-bank yang dibekukan kegiatan usahanya oleh pemerintah sekitar tahun 1999.
Kesembilan KAP tersebut adalah AI & R, HT & M, H & R, JM & R,
PU & R, RY, S & S, SD & R, dan RBT & R. “Dengan kata lain,
kesembilan KAP itu telah menyalahi etika profesi. Kemungkinan ada kolusi antara
kantor akuntan publik dengan bank yang diperiksa untuk memoles laporannya
sehingga memberikan laporan palsu, ini jelas suatu kejahatan,” ujarnya. Karena
itu, ICW dalam waktu dekat akan memberikan laporan kepada pihak kepolisian
untuk melakukan pengusutan mengenai adanya tindak kriminal yang dilakukan
kantor akuntan publik dengan pihak perbankan.
ICW menduga, hasil laporan KAP itu bukan sekadar “human error”
atau kesalahan dalam penulisan laporan keuangan yang tidak disengaja, tetapi
kemungkinan ada berbagai penyimpangan dan pelanggaran yang dicoba ditutupi
dengan melakukan rekayasa akuntansi.
Teten juga menyayangkan Dirjen Lembaga Keuangan tidak melakukan
tindakan administratif meskipun pihak BPKP telah menyampaikan laporannya,
karena itu kemudian ICW mengambil inisiatif untuk mengekspos laporan BPKP ini
karena kesalahan sembilan KAP itu tidak ringan. “Kami mencurigai, kesembilan
KAP itu telah melanggar standar audit sehingga menghasilkan laporan yang
menyesatkan masyarakat, misalnya mereka memberi laporan bank tersebut sehat
ternyata dalam waktu singkat bangkrut. Ini merugikan masyarakat. Kita
mengharapkan ada tindakan administratif dari Departemen Keuangan misalnya
mencabut izin kantor akuntan publik itu,” tegasnya. Menurut Tetan, ICW juga
sudah melaporkan tindakan dari kesembilan KAP tersebut kepada Majelis
Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan sekaligus meminta supaya
dilakukan tindakan etis terhadap anggotanya yang melanggar kode etik profesi
akuntan.
Analisa : Dalam kasus ini terdapat banyak pelanggaran kode etik
profesi akuntan. Prinsip pertama yaitu tanggung jawab profesi telah dilanggar.
Karena auditor telah menerbitkan laporan palsu, maka kepercayaan masyarakat
terhadapnya yang dianggap dapat menyajikan laporan keuangan telah disalahi.
Prinsip kedua yaitu kepentingan publik juga telah dilanggar, karena dianggap
telah menyesatkan public dengan disajikannya laporan keuangan yang telah
direkayasa. Bahkan prinsip keempat yaitu obyektivitas juga dilanggar, yaitu
mereka tidak memikirkan kepentingan public melainkan hanya mementingkan
kepentingan klien.
5. PRAKTIK MAFIA ANGGARAN
JAKARTA, KOMPAS – Dewan Perwakilan Rakyat sulit diharapkan mau
membongkar praktik mafia anggaran yang terjadi di lembaga tersebut dan
melibatkan pejabat pemerintah. Partai politik dan politikusnya di DPR
diuntungkan dengan kondisi tetap tak terungkapnya praktik mafia anggaran karena
mereka mengandalkan pembiayaan politik dari transaksi haram seperti dalam kasus
suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.
“Setidaknya di dua kasus, Kemenpora dan Kemenkertrans menjadi
contoh konkret bahwa praktik mafia anggaran terus berjalan. Sulitnya kita
berharap pada politikus untuk memberantas korupsi karena mereka juga terjebak
pada agenda dan kepentingan pragmatis,” kata Koordinator Divis Korupsi Politik
Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan di Jakarta, Senin (12/9).
Abdullah mencontohkan praktik mafia anggaran yang coba diungkap
anggota DPR Wa Ode Nurhayati. Namun yang terjadi, Badan Kehormatan DPR justru
memproses yang bersangkutan meskipun dia sebagai penyingkap aib (whistle
blower). BK DPR tak pernah memeriksa pihak-pihak yang disebutkan Wa Ode.
“Parpol dan politikusnya mengandalkan permodalan politik dari
kongkalikong semacam ini, jadi sulit mereka mau mengungkap praktik mafia
anggaran,” kata Abdullah.
Abdullah mengatakan, praktik mafia anggaran dimulai sejak
perencanaan, misalnya dalam kasus dana percepatan infrastruktur daerah (DPID)
di Kemnakertrans. Dalam perencanaan, orang di lingkaran menteri menawarkan
beberapa daerah untuk mendapatkan program atau wilayah proyek DPID. “Tentunya
dengan imblana fee tertentu,” katanya.
Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi mengungkapkan, anggaran yang
sudah disetujui DPR dalam kenyataannya tidak diberikan ke daerah secara gratis.
Dalam kasus suap di Kemenpora dan Kemnakertrans, terlihat jelas DPR dan
pemerintah saling mengambil uang dari anggaran yang seharusnya untuk daerah.
“Harus ada fee buat parlemen, sementara birokrat kita juga butuh
duit . Keduanya saling membutuhkan. Pejabat di kementerian membutuhkan uang
untuk biaya kenaikan pangkat dan upeti bagi atasan mereka. Menteri juga
membutuhkan uang untuk membantu partai politiknya.
Analisis : Dalam artikel Penyelewengan Anggaran yang tertulis
pada harian kompas, rabu, 14 September 2011 terdapat beberapa pelanggaran
prinsip etika profesi akuntansi yaitu Prinsip pertama : Tanggung Jawab Profesi,
Prinsip Kedua : Kepentingan Publik, Prinsip Ketiga : Integritas, Prinsip
Keempat : Obyektivitas, Prinsip Kelima : Kompetensi dan Kehati-hatian
Profesional, Prinsip Ketujuh : Perilaku Profesional, Prinsip kedelapan :
Standar Teknis. Seharusnya seorang akuntan harus menaati prinsip-prinsip etika
profensi akuntansi tersebut.
6. Kasus KAP
Anderson dan Enron
Kasus KAP Anderson dan Enron terungkap saat Enron mendaftarkan
kebangkrutannya ke pengadilan pada tanggal 2 Desember 2001. Saat itu terungkap,
terdapat hutang perusahaan yang tidak dilaporkan, yang menyebabkan nilai
investasi dan laba yang ditahan berkurang dalam jumlah yang sama. Sebelum
kebangkrutan Enron terungkap, KAP Anderson mempertahankan Enron sebagai klien
perusahaan dengan memanipulasi laporan keuangan dan penghancuran dokumen atas
kebangkrutan Enron, dimana sebelumnya Enron menyatakan bahwa periode pelaporan
keuangan yang bersangkutan tersebut, perusahaan mendapatkan laba bersih sebesar
$ 393, padahal pada periode tersebut perusahaan mengalami kerugian sebesar $
644 juta yang disebabkan oleh transaksi yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh Enron.
Analisis: Kecurangan yang dilakukan oleh Arthur Andersen telah
banyak melanggar prinsip etika profesi akuntan diantaranya yaitu melanggar
prinsip integritas dan perilaku profesional. KAP Arthur Andersen tidak dapat
memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik sebagai KAP yang masuk kategoti
The Big Five dan tidak berperilaku profesional serta konsisten dengan reputasi
profesi dalam mengaudit laporan keuangan dengan melakukan penyamaran data.
Selain itu Arthur Andesen juga melanggar prinsip standar teknis karena tidak
melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar
profesional yang relevan.
7. Kasus KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono yang
diduga menyuap pajak.
September tahun 2001, KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono harus
menanggung malu. Kantor akuntan publik ternama ini terbukti menyogok aparat
pajak di Indonesia sebesar US$ 75 ribu. Sebagai siasat, diterbitkan faktur
palsu untuk biaya jasa profesional KPMG yang harus dibayar kliennya PT Easman
Christensen, anak perusahaan Baker Hughes Inc. yang tercatat di bursa New York.
Berkat aksi sogok ini, kewajiban pajak Easman memang susut drastis. Dari semula
US$ 3,2 juta menjadi hanya US$ 270 ribu. Namun, Penasihat Anti Suap Baker
rupanya was-was dengan polah anak perusahaannya. Maka, ketimbang menanggung
risiko lebih besar, Baker melaporkan secara suka rela kasus ini dan memecat
eksekutifnya.
Badan pengawas pasar modal AS, Securities & Exchange
Commission, menjeratnya dengan Foreign Corrupt Practices Act, undang-undang
anti korupsi buat perusahaan Amerika di luar negeri. Akibatnya, hampir saja
Baker dan KPMG terseret ke pengadilan distrik Texas. Namun, karena Baker mohon
ampun, kasus ini akhirnya diselesaikan di luar pengadilan. KPMG pun
terselamatan.
Analisis : Pada kasus ini KPMG telah melanggar prinsip
integritas karena tidak memenuhi tanggungjawab profesionalnya sebagai Kantor
Akuntan Publik sehingga memungkinkan KPMGkehilangan kepercayaan publik. KPMG
juga telah melanggar prinsip objektivitas karena telah memihak kepada kliennya
dan melakukan kecurangan dengan menyogok aparat pajak di Indonesia.
8. Malinda Palsukan Tanda Tangan Nasabah
JAKARTA, KOMPAS.com - Terdakwa kasus pembobolan dana Citibank,
Malinda Dee binti Siswowiratmo (49), diketahui memindahkan dana beberapa nasabahnya
dengan cara memalsukan tanda tangan mereka di formulir transfer. Hal ini
terungkap dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum di sidang
perdananya, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (8/11/2011).
"Sebagian tanda tangan yang ada di blangko formulir transfer tersebut
adalah tandatangan nasabah," ujar Jaksa Penuntut Umum, Tatang sutar.
Malinda antara lain memalsukan tanda tangan Rohli bin Pateni. Pemalsuan tanda
tangan dilakukan sebanyak enam kali dalam formulir transfer Citibank bernomor
AM 93712 dengan nilai transaksi transfer sebesar 150.000 dollar AS pada 31
Agustus 2010. Pemalsuan juga dilakukan pada formulir bernomor AN 106244 yang
dikirim ke PT Eksklusif Jaya Perkasa senilai Rp 99 juta. Dalam transaksi ini,
Malinda menulis kolom pesan, "Pembayaran Bapak Rohli untuk interior".
Pemalsuan lainnya pada formulir bernomor AN 86515 pada 23
Desember 2010 dengan nama penerima PT Abadi Agung Utama. "Penerima Bank
Artha Graha sebesar Rp 50 juta dan kolom pesan ditulis DP untuk pembelian unit 3
lantai 33 combine unit," baca jaksa.
Masih dengan nama dan tanda tangan palsu Rohli, Malinda
mengirimkan uang senilai Rp 250 juta dengan formulir AN 86514 ke PT Samudera
Asia Nasional pada 27 Desember 2010 dan AN 61489 dengan nilai uang yang sama
pada 26 Januari 2011. Demikian pula dengan pemalsuan pada formulir AN 134280
dalam pengiriman uang kepada seseorang bernama Rocky Deany C Umbas sebanyak Rp
50 juta pada 28 Januari 2011 untuk membayar pemasangan CCTV milik Rohli. Adapun
tanda tangan palsu atas nama korban N Susetyo Sutadji dilakukan lima kali,
yakni pada formulir Citibank bernomor No AJ 79016, AM 123339, AM 123330, AM
123340, dan AN 110601. Secara berurutan, Malinda mengirimkan dana sebesar Rp 2
miliar kepada PT Sarwahita Global Management, Rp 361 juta ke PT Yafriro
International, Rp 700 juta ke seseorang bernama Leonard Tambunan. Dua transaksi
lainnya senilai Rp 500 juta dan 150 juta dikirim ke seseorang bernamVigor AW
Yoshuara.
Analisis: contoh kasus yang saya ambil yaitu tentang
pemalsuan tanda tangan nasabah yang dilakukan oleh melinda dimana Dalam
kasus ini malinda melakukan banyak pemalsuan tanda tangan yang tidak diketahui
oleh nasabah tersebut. Dalam kasus ini ada salah satu prinsip-prinsip
yang telah dilanggar yaitu prinsip Tanggung jawab profesi, karena ia tidak
melakukan pertimbangan professional dalam semua kegiatan yang dia
lakukan,disini melinda juga melanggar prinsip Integritas, karena tidak
memelihara dan meningkatkan kepercayaan nasabah.
9. Panama Papers
Belum lama ini tepatnya pada bulan April tahun 2016 tersiar
kabar yang menggemparkan dunia tentang kebocoran dokumen rahasia milik
Perusahaan Mossack Fonseca yakni merupakan firma hukum dan penyedia jasa
konsultasi pengelolaan aset perusahaan yang berlokasi di Panama. Dokumen
ini akrab dengan sebutan Panama Papers karena banyaknya kumpulan dokumen yang
bocor, terdiri dari 11,5 juta dokumen dan berukuran 2,6 Terabyte. Dokumen ini
berisi informasi rinci mengenai klien Mossack Fonseca yang membutuhkan jasa
untuk mengelola aset klien perseorangan maupun perusahaan agar dapat terhindar
dari tagihan pajak di negaranya masing-masing yakni dengan memiliki rekening
bank luar negeri dengan identitas anonym, yang memungkinkan identitas nasabah
bank tersebut tidak terlacak oleh petugas pajak di negara mereka masing-masing
sehingga dapat terhindar dari tagihan pajak.
Analisis: Berdasarkan kasus pelanggaran di atas, memiliki
perusahaan offshore pastilah berkaitan dengan kepemilikan rekening bank luar
negeri dimana identitas kita tidak dapat terlacak oleh petugas pajak di negara
domisili masing-masing. Yang artinya aset/harta sesorang yang berada di wilayah
bebas pajak dengan mendirikan sebuah perusahaan offshore secara otomatis aman
dari tagihan pajak di negara domisili mereka. Akan tetapi seseorang yang
melakukan itu telah melanggar etika profesi akuntansi dalam hal integritas,
dikarenakan orang tersebut menyembunyikan hartanya dan tidak melaporkan secara
utuh harta yang dimilikinya kepada petugas pajak. Yang menjadikan orang
tersebut membayar pajak yang tidak sesuai dengan keadaan harta mereka dan dia
berhasil melindungi dirinya dari tagihan pajak yang besar.
10. Kasus Korupsi Gayus Tambunan
Kasus Gayus adalah bukti betapa sindikat pajak telah begitu
menggurita di negeri ini. Laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) yang berisi tentang rekening tambun Gayus senilai Rp. 25
miliar menarik perhatian aparat pemerintah. Gayus cuma pegawai pajak rendahan.
Golongan kepangkatannya baru IIIA. Maksimal, gaji karyawan pajak di level ini
ditambah tunjangan program reformasi birokrasi di Departemen Keuangan, hanya
sekitar Rp.6 juta per bulan. Lantas darimana asalnya uang tersebut?
Data arus dana di berbagai rekening Gayus memperlihatkan
berbagai indikasi kuat bahwa duit segunung itu memang berkait dengan
pekerjaannya sebagai aparat pajak, yang mengurus keberatan dari wajib pajak
tentang besaran uang yang harus mereka setor ke kas negara. Tertera di situ,
harta Gayus merupakan akumulasi dari berbagai transfer bank dari banyak pihak,
baik invidu maupun perusahaan. Nilainya bervariasi, berkisar antara Rp 100 juta
hingga miliaran rupiah.
Analisis: Pada kasus Gayus Tambunan, akuntan pemerintah
benar-benar diuji kredibilitasnya. Akibat kasus ini, banyak masyarakat yang
antipati terhadap petugas pajak. Dengan gaji yang sudah diatas rata-rata,
ternyata masih belum bisa melindungi Gayus dari godaan materi. Entah apakah
faktor latar belakang dari keluarga yang pas-pasan sehingga membuat ia
melanggar kode etik profesi. Yang jelas, pemerintah dalam hal ini direktorat
jenderal pajak harus melakukan pembenahan dan perbaikan terutama terkait sistem
dan prosedur dalam mengamankan sumber penerimaan utama negara ini.
Sumber :
http://rizkiadiputra08.blogspot.com/2012/10/contoh-kasus-pelanggaran-kode-etik.html
(Diakses pada 22-12-2016)
www.iaiglobal.or.id/tentang_iai.php?id=18 (Diakses pada
22-12-2016)
http://keluarmaenmaen.blogspot.com/2010/11/beberapa-contoh-kasus-pelanggaran-etika.html
(Diakses pada 22-12-2016)
http://lhiyagemini.blogspot.com/2012/01/contoh-kasus-pelanggaran-etika-profesi.html
(Diakses pada 22-12-2016)
http://www.scribd.com/doc/40228705/KASUS-ENRON (Diakses pada
22-12-2016)
http://tulisan-amalia.blogspot.com/2011/11/contoh-kasus-prinsip-etika-
profesi.html
(Diakses pada 22-12-2016)
http://keluarmaenmaen.blogspot.com/2010/11/beberapa-contoh-kasus-pelanggaran-etika.html
(Diakses pada 22-12-2016)
http://yonayoa.blogspot.co.id/2013/01/contoh-kasus-pelanggaran-etika-profesi.html?m=1
(Diakses pada 22-12-2016)
http://www.beritateratas.com/2016/04/bocor-terbongkar-ini-dia-daftar-lengkap.html
(Diakses pada 22-12-2016)
http://republikdollar.weebly.com/offshore-surga-kecil-bagi-bisnis-ilegal.html
(Diakses pada 22-12-2016)
https://id.wikipedia.org/wiki/Panama_Papers (Diakses pada
22-12-2016)
https://m.tempo.co/read/news/2016/04/13/063762401/begini-mossack-fonseca-kelola-bisnis-rahasia-joko-tjandra
(Diakses pada 22-12-2016)
http://arinifatimah35.blogspot.co.id/2015/10/pelanggaran-etika-oleh-auditor-chapter-1.html?m=1(Diakses
pada 22-12-2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar